Penelitian oleh Scaliq untuk kementerian pendidikan mengungkap bahwa anak-anak dari komunitas minoritas memiliki peluang empat kali lebih kecil untuk diakui sebagai anak berbakat dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang berkulit putih. Studi ini menyoroti bahwa anak-anak yang diidentifikasi di sekolah dasar dengan IQ di atas 130 ditempatkan dalam “kelas plus” yang menawarkan materi pembelajaran yang lebih menantang. Namun, kemungkinan untuk dilabeli sebagai berbakat sangat tergantung pada latar belakang orang tua dan status sosial.
Studi ini mengamati lebih dari 5.000 anak di 29 sekolah, menunjukkan ketidaksetaraan yang signifikan dalam pengakuan. Misalnya, dalam studi kasus fiktif, “Diederick” dari keluarga yang stabil secara finansial memiliki peluang 60% untuk diidentifikasi sebagai berbakat, sementara “Jalila” dari keluarga berpenghasilan rendah dengan orang tua yang berbicara bahasa Belanda terbatas hanya memiliki peluang 15%. Analisis ini juga menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih sering diakui sebagai berbakat dibandingkan anak perempuan.
Temuan lainnya menunjukkan bahwa status sosial ekonomi berperan penting dalam penilaian guru. Sekitar 50% anak dari keluarga kaya diakui sebagai sangat cerdas, sementara hanya sepertiga anak dari latar belakang miskin yang mendapat pengakuan serupa. Selain itu, anak-anak yang lahir lebih lambat dalam tahun ajaran seringkali diabaikan, dengan guru menilai IQ mereka satu poin lebih rendah untuk setiap bulan setelah awal tahun ajaran.
Para peneliti menyimpulkan bahwa banyak anak cerdas, terutama dari latar belakang kurang mampu, seringkali terabaikan. Laporan mereka menekankan perlunya kesadaran dan tindakan lebih lanjut untuk memastikan bahwa semua anak berbakat, terlepas dari status sosial ekonomi mereka, menerima pengakuan dan dukungan yang layak.